Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup banyak. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa populasi masyarakat Indonesia yang banyak merupakan potensi penyediaan tenaga kerja atau buruh bagi pasar domestik atau pasar luar negeri. Namun, melimpahnya penawaran tenaga kerja dan buruh di Indonesia ternyata kurang diimbangi dengan pemberian upah yang memuaskan bagi tenaga kerja.
Buruh dengan upah yang rendah dijadikan sebagai faktor promosi supaya investor asing masuk ke Indonesia dan dapat memanfaatkan buruh yang upahnya murah. Buruh dengan upah rendah itulah yang menjadi ujung tombak persaingan Indonesia dalam penetrasi produk manufakturnya di pasar tradisional. Namun dengan seiringnya waktu, buruh mulai menyadari dengan ketidakadilan yang mereka dapat selama bekerja.
Sekitar tahun 1996, Menteri Tenaga Kerja Indonesia sempat menaikkan Upah Minimum Regional (UMR) hingga mencapai 100% sebagai dampak dari tuntutan perbaikan nasib buruh melalui aksi mogok kerja ataupun unjuk rasa. Sampai saat ini, hal itu masih berlanjut di setiap ada perubahan upah minimum oleh pemerintah yang selalu dibarengi oleh aksi protes para buruh.
Pemberian upah yang minim atau tidak sesuai dengan kinerja buruh akan membuat buruh menjadi malas bekerja sehingga menimbulkan aksi protes kepada perusahaan bahkan negara. Hal ini ditandai dengan aksi protes yang selalu dilakukan oleh buruh di setiap Hari Buruh. Mereka selalu menuntut upah yang layak untuk kesejahteraan mereka namun selalu saja pihak perusahaan tidak mengindahkannya.
Tujuan dari pemberian upah tenaga kerja atau buruh adalah untuk memberikan motivasi kepada mereka agar bekerja lebih giat. Selain itu, dengan pemberian upah yang layak maka kehidupan buruh juga akan sejahtera dan perusahaan pun akan menjadi lebih maju. Kemajuan perusahaan ditandai dengan tingginya kinerja tenaga kerja atau buruh pada perusahaan tersebut. Oleh karena itu, pemberian upah yang layak kepada buruh merupakan faktor penting untuk kemauan suatu perusahaan.
PENGERTIAN UPAH
Di dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 telah ditentukan landasan hukum sebagai berikut bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan demikian, seharusnya upah yang diterima oleh buruh adalah upah yang wajar.
Menurut Undang-Undang Kecelakaan Nomor 33 Tahun 1947 pengertian upah, yaitu :
1. Tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan
2. Perumahan, makan, bahan makanan, dan pakaian dengan cuma-cuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum di tempat itu.
Jadi dari beberapa pengertian upah di atas dapat disimpulkan bahwa upah dapat diartikan sebagai pembayaran atau imbalan yang wujudnya dapat bermacam - macam dan diberikan oleh seseorang atau lembaga atas usaha, kerja, prestasi, atau pelayanan yang dilakukan oleh buruh.
Upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan apa yang ia kerjakan dan harus cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari – hari. Dalam hal ini perbedaan tingkat kebutuhan dan kemampuan seseorang mempengaruhi sistem perupahan perusahaan. Pelaksanaan administrasi perupahan sangatlah rumit karena upah yang telah ditetapkan oleh seorang pemimpin perusahaan dengan bijaksana mungkin akan diterima oleh sebagian buruh dengan senang hati tetapi mungkin pula ada sebagian buruh yang menerima upanya dengan terpaksa karena upah yang mereka terima masih tendah. Oleh karena itu, pemberian upah kepada buruh harus dapat menimbulkan motivasi kerja.
PERANAN UPAH DALAM SUATU PERUSAHAAN
Upah dalam arti yuridis adalah balas jasa yang diberikan oleh pengusaha kepada buruhnya atas penyerahan jasanya dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal pengupahan banyak pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Berikut penjelasan pihak-pihak yang terlibat dalam pengupahan.
Yang terlibat secara langsung, yaitu :
· Pihak pengusaha atau badan usaha yang memperkerjakan buruh. Dalam hal ini, bagi pihak pengusaha atau badan usah aupah merupakan unsure pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan harga pokok yang menentukan kehidupan perusahaan.
· Pihak buruh yang menerima upah. Upah itu selalu menjadi faktor pendorong bagi semangat bekerja. Upah juga menggambarkan besar kecilnya kontribusi buruh pada perusahaannya.
Sedangkan pihak yang terlibat secara tidak langsung, yaitu :
· Organisasi buruh
· Pemerintah
PERBEDAAN UPAH DAN PENDAPATAN
Secara umum upah adalah pendapatan, akan tetapi pendapatan itu tidak selalu harus upah. Pendapatan itu merupakan jenis penghasilan lain, misalnya keuntungan dari hasil penjualan barang akan menjadi pendapatan dalam administrasi perupahan.
Pendapatan yang dihasilkan para buruh atas pekerjaannya yang tercantum dalam perjanjian kerja dapat dikatakan memperdalam hubungan perburuhan, maka sudah selayaknya bila seorang buruh memperoleh sejumlah pendapatan yang cukup dan merasakan kepuasan berkenaan adanya kesesuaian dengan pendapatan orang lain yang mengerjakan pekerjaan yang sejenis di perusahannya.
Pada masa sekarang di bidang usaha perindustrian telah mengaitkan hal-hal pengupahan dengan produktivitas kerja serta kemampuan pekerja untuk menghasilkan suatu produk. Dengan kata lain, semakin banyak pekerja yang berproduksi dan berprestasi maka semakin banyak upah yang akan diterimanya.
JENIS – JENIS UPAH
1. Upah Nominal
Yang dimaksud upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh yang berhak secara tunai sebagai imbalan atas jasa atau pelayanannya sesuai dengan perjanjian kerja. Upah nominal juga sering disebut upah uang (money wadges).
2. Upah nyata (Real Wadges)
Yang dimaksud upah nyata ialah upah nyata yang harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah nyata ditentukan oleh daya beli upah yang tergantung dari besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima serta besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan.
3. Upah Hidup
Dalam hal ini upah yang diterima oleh buruh relative cukp untuk membiayai kehidupan dan kebutuhan pokoknya saja. Perusahaan yang maju dan kuat akan mampu memberikan upah hidup kepada burunnya.
4. Upah Minimum
Dalam hal ini upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya walaupun dalam arti yang sederhana, cost of living perlu diperhatikan dalam penentuan upah.
Tujuan utama penentuan upah minimum, yaitu :
· Menonjolkan peranan buruh dalam suatu sistem kerja.
· Melindungi buruh dari upah yang rendah
· Mengusahakan terjaminnya ketenangan dalam pekerjaan.
· Mengusahakan adanya dorongan peningkatan dalam standar hidupnya yang normal.
5. Upah Wajar (Fair Wages)
Upah wajar dimaksudkan sebagai upah yang relative dinilai wajar oleh pengusaha dan para buruh sebagai uang imbalan atas jasa buruh kepada perusahaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi upah wajar ini, yaitu :
· Kondisi ekonomi Negara
· Nilai upah rata-rata di daerah dimana perusahaan beroperasi
· Posisi perusahaan dilihat dari struktur ekonominya
· Peraturan perpajakan
· Standar hidup para buruh
KARAKTERISTIK UPAH YANG BAIK
1. Upah harus menjamin upah minimum
2. Upah harus disetujui dan diterima oleh buruh
3. Upah mencerminkan apresiasi kemampuan dan kemajuan para buruh
4. Upah harus terperinci sehingga dimengerti oleh buruh
5. Upah tidak akan melibatkan secara terlalu besar atas biaya tak langsung (overhead)
6. Upah harus fleksibel dalam menghadai perubahan yang tidak terduga
7. Upah hendaknya memotivasi peningkatan kualitas produk.
8. Upah yang bersifat insentif seperti bonus haris diterima bersama dengan upah dasarnya
9. Sistem pengupahan harus adil dan berperikemanusiaan yang baik oleh pihak buruh
10. Manajemen yang baik berarti tidak terlalu mengikuti up and down labour supply atau pasang surut penawaran tenaga kerja dalam perubahan upah.
IV.
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa :
a) Upah buruh disetiap daerah berbeda-beda, sesuai dengan peraturan pemerintah setempat.
b) Setiap buruh atau tenaga kerja telah dilindungi oleh undang-undang dan peraturan yang berlaku, serta pengusaha atau pemberi kerja tidak semena-mena melakukan hal yang tidak diinginkan, seperti :
1. Memberikan jam lembur yang berlebihan, tanpa memikirkan kondisi fisik dari pegawai atau buruh tersebut.
2. Memotong upah buruh tanpa alasan yang jelas.
c) perusahaan atau pihak yang membutuhkan jasa memberikan penghargaan atas jasa yang telah dilakukan oleh pekerja, seperti memberikan upah yang lebih bagi pekerja yang mempunyai etos kerja yang tinggi.
d) Jam kerja yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan atau perjanjian yang tertera, apabila telah melewati jam kerja yang ditentukan maka jam kerja tersebut sudah termasuk lembur.
UPAH BURUH DAN DAYA SAING
Siklus tahunan isu perburuhan Indonesia terus berulang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap bulan Oktober-November, suhu politik perburuhan Indonesia menghangat akibat perdebatan soal upah, tepatnya soal kenaikan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK). Di Karawang, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia mengancam akan melakukan aksi mogok kerja secara massal jika upah minimum kabupaten pada 2012 tidak dinaikkan menjadi 100 persen Kebutuhan Hidup Layak yang angkanya mencapai Rp1.387.. Di Bekasi, sekitar 1.000 orang buruh dari Gerakan Serikat Buruh Indonesia (Gesburi) berunjukrasa menuntut kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) di Kantor Bupati Bekasi, Jawa Barat, Selasa. Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk menaikkan UMK sebesar 100 persen dari UMK tahun 2011 Di Kabupaten Bandung, sekitar 25 ribu buruh dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) berunjuk rasa di depan komplek Pemkab Bandung, Rabu. Mereka mendesak kenaikan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2012 sebesar 10 persen UMK 2011 Rp1.123.. Sementara itu di Kota Bandung, Kadisnaker Kota Bandung Hibarni Andan Dewi mengimbau perusahaan untuk patuh jika UMK 2012 yang diusulkan naik 7%, nantinya disahkan. . Dengan kenaikan itu maka UMK Kota Bandung akan naik dari Rp 1.271.625 pada 2012 dari yang sebelumnya Rp 1.188.435.
Unjuk rasa yang terus berulang setiap tahun, untuk isu yang sama, jelas menunjukkan ada persoalan serius dalam isu upah ini. Tiga pihak yang terkait di dalam isu ini yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh, agaknya melihat persoalan ini dengan cara pandang yang berbeda sehingga sulit menemukan titik temu. Buruh melihat dengan kacamata pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak, pengusaha melihat dengan kacamata Biaya Buruh, sedangkan Pemerintah melihat dengan kacamata daya saing, untuk menarik investasi.
Tahun lalu, saya menulis di Harian ini mengenai UMK dari sisi pandang buruh. Bahwa UMK samasekali belum mampu memenuhi Kebutuhan Hidup Layak bagi buruh lajang, apalagi yang berkeluarga. Dalam tulisan kali ini, saya akan melihat UMK dari sisi pemerintah, yaitu upah sebagai salah satu instrument untuk menarik investor dan meningkatkan daya saing Indonesia diantara Negara-negara lain di dunia.
Adalah World Economic Forum (WEF), sebuah lembaga yang secara rutin mempublikasikan The Global Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Global). Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga diteliti dan dianalisis daya saingnya diantara Negara-negara lainnya. Hasilnya, tahun 2011 ini posisi Indonesia berada di peringkat 46, turun 2 tingkat dari tahun sebelumnya (The Global Competitiveness Report 2011-2012).
Ada banyak faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia justru turun. Selain itu, laporan yang sama juga memperlihatkan factor-faktor bisnis apa saja yang dianggap paling menghambat masuknya investor ke Indonesia. Urutan dan share dari masing-masing factor dalam mengahmbat masuknya investasi diperlihatkan oleh table di bawah ini.
Faktor-Faktor Penghambat Daya Saing
Sumber: The Global Competitiveness Index, 2011-2012
Dari tabel di atas tampak bahwa 3 faktor utama penghambat daya saing adalah Korupsi, Birokrasi Pemerintah yang tidak efisien dan Infrastruktur yang tidak memadai. Sementara itu Peraturan Perburuhan hanya menempati urutan ke 12. Dari data tersebut di atas, sudah sepantasnya, pemerintah memikirkan ulang strategi untuk menarik investor. Untuk menarik investor agar mau menanamkan modalnya di Indonesia, yang penting bukanlah menekan upah buruh, melainkan serius memberantas korupsi, mengefisienkan birokrasi pemerintah dan memperbaiki infrastruktur.
Sementara itu, sudah waktunya pula untuk merevisi Permenaker 17/ 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dengan menyesuaikannya dengan kondisi terkini. Bila buruh sudah mendapatkan upah layak, maka daya belinya akan meningkat, produktifitasnyapun meningkat. Maka bukan hanya buruh yang diuntungkan, tapi juga pengusaha dan pemerintah, tentunya.
|
UMK BELUM 100% KEBUTUHAN HIDUP LAYAK
|
Bulan Oktober bagi buruh sektor industri adalah bulan "harap-harap cemas". Pasalnya pada 15 Oktober 2009, bupati/wali kota se-Jawa Barat akan merekomendasikan UMK kepada Gubernur Jawa Barat untuk disahkan pada 20 Oktober 2009. Proses penentuan dan nilai upah untuk 2010 ini menjadi penting bagi buruh karena pada 2007, Pemprov Jawa Barat menjanjikan bahwa pada 2010, buruh bisa menikmati upah minimum sebesar seratus persen kebutuhan hidup layak (KHL).
Konsep Upah Layak
Konsep upah layak memang belum menjadi istilah resmi yang diterima oleh pemerintah. Istilah yang selama ini dikenal adalah upah minimum yang dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak. Untuk itu, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan bahwa upah minimum yang selama ini menjadi acuan pengupahan mestinya dapat memenuhi kebutuhan hidup layak sebagaimana diatur dalam Permenaker Nomor Per-17/ Men/ VIII/ 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Faktanya, pengalaman buruh dan hasil penelitian yang dilakukan oleh SPN (Serikat Pekerja Nasional) dan Federasi Garteks KSBSI bersama AKATIGA di sembilan kota/kabupaten empat provinsi pada 2008–2009 menunjukkan bahwa upah minimum belum mampu memenuhi kebutuhan hidup layak, bahkan pada buruh lajang. Upah minimum baru memenuhi 62,4 persen pengeluaran riil buruh yang rata-rata Rp 1,467 juta per bulan.
Untuk menutupi kekurangan itu, buruh harus bekerja lebih lama (mengandalkan lembur), bekerja sampingan, menggabungkan penghasilan anggota rumah tangga lainnya, meniadakan konsumsi untuk barang-barang tertentu, dan berutang. Mengapa bisa terjadi demikian? Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan penerapan dan konsep upah minimum.
Pertama, upah minimum yang seharusnya hanya berlaku untuk buruh lajang dengan masa kerja 0-1 tahun, ternyata diberlakukan juga untuk buruh dengan masa kerja hingga belasan tahun. Perbedaan upah antara buruh "baru" dengan buruh yang masa kerjanya sudah cukup Lama, sangat kecil, hanya beberapa ribu rupiah.
Kedua, penelitian ini menemukan fakta bahwa 52 persen buruh sudah menikah dan memiliki tanggungan, 59 persen buruh lajang memiliki tanggungan selain dirinya sendiri. Dengan demikian, memberikan upah minimum yang didasarkan pada kebutuhan hidup buruh lajang berarti memaksa buruh untuk "berbagi kemiskinan". Pada saat upah minimum belum mencapai 100 persen KHL, buruh masih harus membaginya dengan anggota rumah tangga lainnya.
Ketiga, 46 komponen KHL berdasarkan peraturan tersebut tidak relevan lagi untuk kondisi saat ini. Penelitian ini menemukan bahwa setidaknya ada 163 komponen kebutuhan hidup yang harus dikonsumsi oleh buruh agar dapat hidup secara layak. Contoh komponen kebutuhan hidup yang pasti dikonsumsi (dibeli/dianggarkan dalam pengeluaran) oleh buruh tetapi tidak termasuk dalam KHL versi Permenaker 17/2005 antara lain setrika, sumbangan kemasyarakatan, dan biaya pendidikan anak untuk buruh yang sudah berkeluarga. Buruh juga membutuhkan rumah yang bersih dan sehat, sementara dalam komponen KHL, kebutuhannya dihitung hanya untuk kontrak kamar. Untuk perumahan, buruh seharusnya bisa memiliki rumah sekalipun tipe sederhana.
Secara umum, dalam penelitian ini, kebutuhan hidup layak mengacu pada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi agar seorang pekerja dan keluarganya dapat hidup layak dan mampu mereproduksi kembali tenaganya sehingga menjadi lebih produktif.
Tanggung Jawab
Masalah upah adalah masalah dalam hubungan kerja, yang terkait dengan masalah produksi dan reproduksi. Dalam hal ini, peran pemerintah relatif masih terbatas. Akan tetapi bagaimana dengan kebutuhan hidup layak? Apakah pemenuhan kebutuhan hidup layak melulu tanggung jawab pengusaha? Upah memang seharusnya bisa memenuhi kebutuhan hidup layak. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kebutuhan hidup layak buruh lajang rata-rata Rp 2,45 juta dan buruh yang sudah berkeluarga Rp 4,067 juta per bulan. Mungkinkah pengusaha mampu memberikan upah sebesar KHL tersebut?. Penelitian yang dilakukan Akatiga pada 2007 memperlihatkan bahwa pengusaha masih dibebani dengan berbagai bentuk pungutan yang mengakibatkan inefisiensi (2007:31). Bila hal ini bisa diatasi maka buruh boleh berharap bahwa upah sebesar KHL bisa dicapai. Jika dalam hal prasyarat tersebut belum bisa dipenuhi maka pemerintah harus mencari solusi untuk memenuhi KHL tersebut sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap warga negara.
Untuk menjawab permasalahan ini, pemerintah bisa mulai memperbaiki program jaminan sosial yang terkait langsung dengan kebutuhan perumahan, pendidikan, kesehatan, serta berbagai program peningkatan kesejahteraan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap warga negara.
|
|
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN YANG MEMISKINKAN
Persoalan kemiskinan di Negara ini semakin merisaukan. Masalah kemiskinan yang terus meluas di kalangan yang memang sudah miskin: buruh, petani, nelayan, pelaku sector informal, semakin kasat mata. Upah dan pendapatan kelompok marjinal ini semakin rendah dan semakin tak mampu mengejar lonjakan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok.
Salah satu kelompok yang sedang menghadapi pemiskinan adalah buruh di sector industri manufaktur. Apabila ditelusuri lebih ke hulu, kemiskinan buruh di sector industri sesungguhnya merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sebagai upaya untuk mengundang sebanyak mungkin investor (asing). Ada dua strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Kedua strategi tersebut secara sistematis telah memiskinkan buruh.
Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India’.
Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global, investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.
Politik upah murah telah terbukti menciptakan sulitnya kehidupan buruh karena nilai rata-rata upah mínimum sebesar Rp.892,160 hanya mampu membiayai 62,4 persen rata-rata pengeluaran riil buruh (AKATIGA-SPN-GarTeks-FES-TWARO 2009).
Prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam kebijakan ketenagakerjaan menunjukkan kepatuhan pemerintah terhadap tekanan kapitalisme global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing dan magang. Sistem kerja ini juga membatasi masa kerja menjadi sangat pendek melalui kontrak selama enam bulan hingga paling lama dua tahun dan mempersempit peluang kerja di sektor formal bagi angkatan kerja usia produktif karena munculnya kecenderungan baru pada preferensi perusahaan untuk hanya mempekerjakan buruh yang berusia 18-24 tahun untuk alasan produktivitas. Sebuah studi di sektor metal menemukan bahwa sistem hubungan kerja yang fleksibel telah menurunkan upah buruh kontrak dan outsourcing hingga 26 persen terhadap upah buruh tetap.
Sistem yang sama telah mampu menurunkan biaya tenaga kerja hingga 20 persen karena dengan mempekerjakan buruh dengan sistem kontrak perusahaan hanya perlu membayar upah pokok dan tidak perlu memberikan kompensasi ketika hubungan kerja berakhir. Inilah sebabnya dalam lima tahun terakhir fenomena hubungan kerja kontrak dan outsourcing menjadi sangat massif dan diterapkan di hampir semua sektor industri. Berbagai laporan dan hasil studi menunjukkan di berbagai perusahaan di sektor garmen dan logam serta elektronik saja misalnya pengurangan penggunaan buruh tetap dan menggantikannya dengan buruh kontrak terus terjadi.
Implikasi kebijakan ini jelas memiskinkan buruh karena dengan sistem kerja kontrak, upah buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan dan berbagai tunjangan yang biasa diterima oleh buruh tetap dengan sendirinya tidak diberikan.
Meskipun sistem kerja yang fleksibel berdampak negatif terhadap buruh tetapi rupanya masih dianggap belum cukup memberikan keleluasaan bagi modal sehingga peraturan ketenagakerjaan yang ada masih akan dikaji ulang dan dibuat kondisi yang lebih longar lagi dalam mempekerjakan buruh. Sekali lagi, sistem kerja yang lebih fleksibel diupayakan agar semakin banyak investasi asing yang datang.
Kecenderungan pada pemerintah yang lebih mempersoalkan masih kurang fleksibelnya pasar kerja dan menekankan aspek tenaga kerja sebagai penyebab tak kunjung kondusifnya iklim investasi, menunjukkan ketidakmampuan untuk mencari jalan keluar terhadap pokok penyebab biaya tinggi dalam berinvestasi di Indonesia yang bersumber dari buruknya infrastruktur dan birokrasi serta tingginya pungutan. Situasinya persis seperti kalimat para pengusaha di Bandung yang mengatakan bahwa ’lebih mudah menghadapi protes buruh daripada menghadapi birokrasi dan aparat pemerintah karena tuntutan aparat pemerintah di jaman otonomi daerah jika tidak dipenuhi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah terhadap kelancaran usaha’.
Implikasi dan arah kebijakan
Politik upah murah dan ketiga prinsip yang menjadi warna utama kebijakan ketenagakerjaan di atas, apabila terus dipertahankan maka dalam waktu yang tidak terlalu panjang justru akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan menghapus kemiskinan. Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Belajar dari berbagai negara yang berhasil meraih investasi dengan mengedepankan mutu angkatan kerja dan kesejahteraan buruh melalui penyediaan jaminan sosial, maka strategi mengundang investasi dengan menjual buruh murah seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia saat iini justru terasa sangat primitif dan memprihatinkan dan oleh karenanya harus ditinggalkan. Fleksibilitas pasar kerja memang merupakan gejala global akan tetapi di berbagai negara kebijakan tersebut selalu disertai dengan penyediaan jaminan sosial sebagai ’fall-back cushion’ atau jaring pengaman bagi buruh.
Di tengah iklim persaingan global, pendulum kebijakan ketenagakerjaan yang semakin menjauh dari posisi melindungi buruh sudah saatnya didekatkan kembali dan pemerintah adalah pihak yang seharusnya paling mampu untuk melakukannya. Menjadi negara yang ramah terhadap bisnis harus dipandang sebagai cara untuk mendatangkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan bukan untuk memiskinkan rakyat. Menjadi negara yang ramah terhadap investor dan meningkatkan kehidupan sosial ekonomi warganya merupakan sebuah peta jalan pembangunan yang sudah ditempuh juga oleh Malaysia, Thailand, Taiwan, Korea Selatan dan Cina. Peta jalan tersebut dapat dilengkapi dengan kejelasan visi pembangunan bangsa dan arah untuk menempatkan negara di posisi terhormat di dalam konstelasi global. Persaingan global yang semakin ketat dan sengit hanya dapat dimenangkan oleh negara dengan pemerintahan yang kuat dan konsisten menegakkan peraturan yang bersemangat keadilan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar