Di Bawah Naungan Gletser

Sebuah tulisan yang hampir dua minggu lebih terperangkap di dalam folder konsep, belum tersentuh untuk diterbitkan. tulisan yang sebenarnya dipersembahkan untuk hari bumi tanggal 22 April. Menceritakan tentang air. Air merupakan elemen alam yang sangat vital bagi kehidupan seluruh makhluk hidup dan proses kehidupan. Kebutuhan terhadap air harus terpenuhi baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Sumber pemenuhan air baku bagi kehidupan manusia antara lain air tanah dan air permukaan. Namun di sisi lain, kerusakan lingkungan dan efek dari revolusi industri yang terkadang mengabaikan dampak lingkungan mempengaruhi perubahan iklim global di bumi.
Sebanyak seperlima gletser di Himalaya telah menyusut karena mencair dalam kurun 30 tahun terakhir. Rinciannya antara lain, 21 persen gletser di Nepal dan 22 persen gletser di Butan mencair.
Gletser
Fakta itu merupakan hasil penelitian  International Center for Integrated Mountain Development (Icimod), sebuah organisasi yang berbasis di Kathmandu, Nepal. Sebanyak 3 laporan menyangkut hasil riset tersebut dipresentasikan pertama kali di UN Climate Talk di Durban, Afrika Selatan, Minggu (4/12/2011).
Icimod melakukan survei pada 10 lokasi berbeda dan menemukan fakta bahwa gletser di seluruh lokasi yang diteliti mencair. Pencairan mengalami percepatan dalam 10 tahun terakhir, terutama tahun 2002-2005.
Ilmuwan memperingatkan bahwa Himalaya adalah “kutub ketiga” yang jika mencair akan berkontribusi pada kenaikan permukaan air laut. Pencairan gletser juga akan merugikan masyarakat yang hidup di bawahnya dan berpotensi mengakibatkan kekeringan di Asia.
“Wilayah Hindu Khus Himalaya adalah raksasa lunak. Terlihat mengagumkan, wilayah itu adalah salah satu yang paling sensitif di dunia,” kata David Molden, Direktur Icimod, seperti dikutip AFP, Senin (5/12/2011).
Sampai saat ini, belum ada data spesifik tentang jumlah, area, dan status terkini di seluruh wilayah Himalaya. Diprediksikan, jika emisi gas rumah kaca berlangsung tanpa pengurangan, gletser akan menghilang tahun 2035.
Menanggapi laporan tersebut, Rajendra Pachauri, Chairman Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) mengungkapkan, “Laporan ini memberikan dasar dan informasi di lokasi spesifik untuk memahami perubahan iklim di salah satu wilayah yang paling rapuh di dunia.”
Pada saat yang sama, penelitian ini juga kembali menegaskan pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca lewat berbagai tindakan, mulai menjaga hutan hingga mengurangi pemakaian bahan bakar fosil.
Sebuah kisah dari  Tibet, China
“Dewa Pasti Sedang Murka”  ltulah satu-satunya penjelasan yang masuk akal bagi Jia Son, petani Tibet yang menyaksikan malapetaka menimpa desanya di Provinsi Yunnan, China, yang bergunung-gunung. “Kami merusak tatanan alam,” ujar lelaki 52 tahun penganut Buddha yang taat itu. “Dan sekarang para dewa menghukum kami.”
Glester 2
Pada suatu senja musim panas yang hangat, Jia Son menyusuri jalan mendaki lebih dari dua kilometer ke atas ngarai yang diukir Gletser Mingyong di gunung suci Kawagebo (6.740 meter). Tidak ada tanda-tanda es di sana, hanya ada snngai yang keruh oleh lelehan sarat lumpur. Selama lebih dari seabad, sejak lidah gletser menjulur hingga ke tepi desa Mingyong, gletser itu terus beringsut mundur bagaikan ular sekarat yang kembali ke sarang. Proses itu kian cepat dalam dekade terakhir, hingga lebih dari sebidang lapangan bola tiap tahunnya – terlalu cepat untuk ukuran massa es purba.
“Sepuluh tahun yang lalu, ini semua tertutup es,” ujar Jia Son sambil mendaki di antara bebatuan dan semak, Dia menunjukkan lintasan yak di lereng, sekitar 60 meter di atas dasar lembah. “Dulu gletser ini terkadang menutupi lintasan, jadi kami harus menuntun ternak melintasi es untuk mencapai padang rumput”.
Di dekat kelok sungai, moncong gletser akhirnya terlihat: warnanya hitam, penuh hancuran batu dan kotoran. Air dari es yang dulu begitu murni sehingga menjadi simbol Buddha dalam ritual-ritual itu kini begitu penuh sedimen sehingga tak bisa diminum penduduk desa. Permukaan gletser yang dulu halus kini kasar dan berluhang-lubang sepanjang lebih dart satu kilometer. Es biru kehijauan sesekali tampak dalam rekahan, tapi celah itu sendiri menandakan adanya masalah. “Jika gletser suci kami tidak dapat selamat, bagaimana dengan nasib kami?”
Pertanyaan Jia Son menggema di seluruh dunia, tetapi paling mendesak di bentangan luas Asia yang mendapatkan airnya dari “atap dunia” Raksasa geologis tersebul – dataran tinggi yang tertinggi dan terbesar di Bumi dan dikelilingi oleh pegunungan tertinggi di dunia – meliputi wilayah yang lebih luas daripada Eropa barat, dengan ketinggian rata-rata lebih dari tiga kilometer. Dengan hampir 37.000 gletser di bagian China saja, Dataran Tinggi Tibet dan pegunungan sekitarnya mengandung volume es terbesar di luar kawasan kutub. Es tersebut melahirkan sungai-sungai terbesar dan paling melegenda di Asia, mulai dari Sungai Kuning dan Yangtze hingga Mekong dan Gangga – sungai yang sepanjang sejarah telah membesarkan peradaban, mengilhami agama, dan melestarikan ekosistem. Kini sungai-sungai itu menopang kehidupan beberapa kawasan permukiman terpadat di Asia, mulai dari dataran gersang Pakistan hingga kota – kota besar yang haus air di China utara, hampir 5.000 kilometer jauhnya. Secara keseluruhan, sekilar dua miliar orang di lebih dari 10 negara – hamper sepertiga penduduk dunia – bergantung pada sungai yang airnya berasal dari lelehan salju dan es kawasan dataran tinggi tersebut.
Namun krisis sedang terjadi dan ada paradoks aneh di sana: walau tampak kokoh dan abadi, bentangan geologi itu lebih rentan terhadap perubahan iklim daripada hampir semua tempat lain di Bumi Selama seabad ini. Dataran Tinggi Tibet secara keseluruhan memanas dua kali lebih cepat daripada rata-rata global yang sebesar 0,740C – dan bahkan lebih cepat di beberapa tempat. Tingkat pemanasan yang belum pernah terjadi selama sedikitnya dua milenia tersebut tak kenal ampun pada gletser Tibet. Kombinasi langka antara ketinggian dan garis lintang yang rendah membuatnya sangat peka terhadap perubahan iklim.
Selama ribuan tahun, gletser itu menjadi sesuatu yang disebut Lonnie Thompson, pakar gletser di Ohio State University, sebagai “rekening bank air tawar Asia” – gudang raksasa yang pembentukan es dan salju barunya (tabungan) secara historis mengimbangi limpasan tahunannya (penarikan). Lelehan gletser berperan paling penting sebelum dan sesudah musim hujan. Di saat itulah gletser memasok air untuk sebagian besar aliran sungai, mulai dari Yangtze hingga Gangga dan Indus (sangat penting bagi pusat pertanian India dan Pakistan).
Namun selama setengah abad terakhir, keseimbangan tersehut hilang dan mungkin tidak dapat dikembalikan, Dari 680 gletser di Dataran Tinggi Tibet yang dtpantau secara saksama oleh para ilniuwan China, 95 persen di antaranya melelehkan es lebih banyak daripada yang dibentuknya. Pengurangan terbesar terjadi di tepi selatan dan timur. “Gletser-gletser ini bukan hanya menyurut, melainkan juga kehilangan massanya karena menipis,” ujar Thompson. Tutupan es pada bagian itu di Dataran Tinggi Tibet telah menyusut lebih dari 6 persen sejak 1970-an – sementara kerusakan yang lebih parah terjadi di Tajikistan dan India utara, dengan penurunan 35 persen dan 20 persen dalam lima dasawarsa terakhir.
Meski ilmuwan belum sepakat mengenai laju dan penyebab surutnya gletser, sebagian besar tidak mengingkari bahwa penyurutan memang terjadi. Menurut mereka, mungkin akan semakin parah. Semakin banyak daerah gelap yang terpapar akibat pelelehan es, semakin banyak pula sinar matahari yang terserap disbanding yang dipantulkan sehingga suhu naik lebih cepat. Menurut ahli klimatologi, lingkaran umpan balik pemanasan itu bisa memperkuat monsun Asia, menyebabkan lebih banyak badai dahsyat dan banjir di Bangladesh dan Myanmar. Jika tren tersebut lerus berlanjut, menurut ilmuwan China, 40 persen gletser dataran tinggi itu dapat menghilang sebelum 2050.
Potensi dampak surutnya gletser jauh melampaui gletser semata. Di Dataran Tinggi Tibet, terutama di sisi utaranya yang kering, masyarakatnya sudah merasakan akibat menghangatnya iklim. Padang rumput dan lahan basah kian berkurang, dan es abadi yang memberi air pada musim semi dan musim panas kian mundur ke tempat yang lebih tinggi. Ribuan danau mengering. Kini sekitar seperenam dataran tinggi itu menjadi gurun, dan di beberapa tempat bukit pasir tersebar di dataran tinggi itu laksana gelombang segara kuning. Gembala yang dulu hidup makmur di di tempat itu kehilangan mata pencaharian.
Sebaliknya di tepi selatan dataran tinggi tersebut, masalah yang dihadapi banyak masyarakat adalah terlalu banyak air. Di desa pegunungan seperti Mingyong, lelehan es membuat sungai meluap dengan dampak yang menguntungkan: lahan pertanian semakin luas dan musim tanam bertambah panjang. Namun, manfaat tersebut sering menyimpan bahaya tersembunyi. Di Mingyong, gelombang air lelehan mengikis humus; di lempat lain, kelebihan air limpasan dituding menyebabkan kian seringnya banjir dan tanah longsor. Di pegunungan dari Pakistan hingga Bhutan, terbentuk ribuan danau glasial, banyak yang berpoltensi labil. Salah satu yang berbahaya adalah Imja Tsho, di ketinggian 5.000 meter pada jalur ke Puncak Island di Nepal. Lima puluh tahun yang lalu, danau itu tidak ada. Kini, danau yang dipenuhi air lelehan itu memanjang sejauh 1,6 kilometer dengan dalam 90 meter. Jika dinding danau yang berupa bebatuan sisa gletser itu jebol, desa – desa Sherpa pada lembah di bawahnya akan tenggelam.
Situasi ini – terlalu banyak air, terlalu sedikit air – menggambarkan arah krisis global dalam skala kecil. Sekalipun pencairan gletser membuat air berlimpah dalam jangka pendek, hal itu adalah pertanda sualu akhir yang menakutkan dalam jangka panjang: surutnya sungai-sungai terbesar Asia. Tidak ada yang dapat memperkirakan kapan persisnya penyusutan gletser akan menyebabkan penurunan drastis air limpasan. Apakah itu terjadi dalam 10, 30, atau 50 tahun tergantung pada kondisi setempat, tetapi kerusakan yang diakibatkannya di seluruh kawasan itu sangatlah serius. Di samping kekurangan air dan listrik yang parah, para pakar meramalkan anjloknya produksi pangan, migrasi yang meluas akibat perubahan ekologi, bahkan konflik antara negara-negara besar di Asia.
Menurut sebagian besar pakar, keadaan mungkin akan semakin parah. “Penyusutan gletser besar-besaran tak terelakkan.” kata YaoTandong dari Institute of Tibetan Plateau Research China.
Tenda Pengembara itu terlihat seperti titik putih di tengah kanvas hijau dan cokelat. Tak ada tanda lain keberadaan manusia di prairi berketinggian 4.270 meter yang seakan membentang hingga ke ujung dunia itu. Saat terdengar bunyi kendaraan mendekati tenda, muncul dua pemuda. Ba O dan saudaranya Tsering adalah keturunan langsung pengembara Tibet yang telah menggembala ke padang rumput musim panas di dekat hulu Sungai Yangtze dan Sungai Kuning selama sedikitnya 1.000 tahun.
Di dalam tenda, istri Ba O melemparkan gumpalan kotoran yak kering ke api sementara anaknya yang berusia empat tahun bermain dengan segulung bulu domba. Perempuan pemimpin keluarga itu. Lu Ji. mengaduk susu yak untuk membuat keju. Di belakangnya, di atas dua peti Tibet tua, ada tempat kecil pemujaan Buddha: roda doa merah, beberapa teks Tibet yang luntur, dan beberapa lilin dari mentega yak yang apinya lidak pernah dibiarkan padam.
“Beginilah cara hidup kami selama ini,” kata Ba O. “Dan kami lidak ingin hal itu berubah”.
Namun mungkin sudah terlambat. Padang rumput sedang sekarat seiring kenaikan suhu selama beberapa dasawarsa – dan diperparah oleh ternak yang dibiarkan merumput berlebihan – yang mengubah padang rumput menjadi padang pasir. Sumber-sumber air mengering dan kini alih-alih menempuh perjalanan singkat untuk mencari tempat merumput musim panas bagi ternak, Ba O dan keluarganya harus melakukan perjalanan sekitar 50 kilometer melintasi dataran tinggi itu. Bahkan di tempat tujuan pun rumputnya sedikit. Ternak keluarga itu telah berkurang dari 500 menjadi 120 ternak. Langkah berikutnya tampak tak terelakkan: menjual sisa ternak dan pindah ke kamp relokasi pemerintah.
Gletser 2
Di seantero Asia, respons terhadap ancaman akibat iklim umumnya lambat dan tidak menyeluruh, seolah pemerintah lebih suka menyerahkannya ke negara maju yang memompa gas rumah kaca ke atmoster. Namun ada beberapa pengecualian. Di Ladakh, daerah kering di bagian utara India dan Pakistan yang bergantung sepenuhnya pada lelehan es dan salju, seorang pensiunan insinyur sipil Chewang Norphel telah membangun “gletser buatan” – berupa tanggul batu sederhana yang menahan dan membekukan lelehan gletser pada musim gugur untuk digunakan pada musim tanam di awal musim semi. Adapun Nepal mengembangkan sistem pemantauan jarak jauh untuk mengukur kapan danau gletser terancam jebol, serta teknologi untuk mengurasnya. Bahkan di tempat-tempat yang langganan banjir monsun seperti Bangladesh, “sekolah terapung” di delta memungkinkan anak-anak melanjutkan bersekolah – di atas perahu.
Hanya saja, tak ada yang melebihi respons China yang memiliki air lebih sedikit daripada Kanada, tetapi penduduknya 40 kali lipat. Di padang pasir terpencil di wilayah Xinjiang, tak jauh di utara Dataran Tinggi Tibet, China berencana membangun 59 waduk untuk menahan dan menyimpan lelehan gletser. Di seluruh penjuru Tibet, meriam artileri dipasang untuk meluncurkan perak iodida ke awan unluk merangsang hujan. Di Qinghai. pemerintah melindungi padang rumput yang terdegradasi dengan harapan dapat pulih kembali. Di daerah yang padang rumputnya sudah berubah menjadi gurun berbelukar, kawat berduri dibentangkan di atas sisa-sisa terakhir tanaman agar tidak terembus angin.
Gletser berubah menjadi padang pasir
Sementara di dekat kota Madoi terdapat desa relokasi bagi pcngembara Tibet, bagian dari program besar dan kontroversial untuk mengurangi tekanan pada padang rumput di dekat sumber tiga sungai utama China – Sungai Yangtze, Kuning. dan Mekong – yang biasa dihuni hampir setengah dari 530.000 pengembara di Provinsi Qinghai.
Hari belum siang di Delhi yang letaknya hanya 290 kilometer di selatan gletser Himalaya, tetapi di gang sempit Nehru Camp, perkampungan kumuh di kota berpenduduk 16 juta jiwa itu, hembusan udara musim panas India utara telah membuat suhu melonjak melebihi 40 derajat celelsius. Chaya, istri-peramal berusia 25 tahun, telah menghabiskan waktu tujuh jam berebut air yang hingga hari ini mewarnai kehidupan di metropolis yang padat tersebut – itulah gambaran akibat menipisnya air dan es Tibet.
Chaya memulai kesibukan jauh, sebelum Matahari terbit ketika dia dan lima anaknva menyebar dalam kegelapan, membawa jeriken plaslik berbagai ukuran. Selelah fajar, rumor adanya keran yang mengucurkan air membuatnya tergopoh gopoh melewati gang sempil. Saat itu, dengan jeriken yang masih kosong dan Matahari di atas kepala, ia pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. Ketika ditanya apakah dia sudah makan hari itu, dia tertawa: “Kami bahkan belum minum teh.”
Kebutuhan air di Delhi sudah melebihi suplai yang sebanyak lebih dari satu miliar liter sehari. Kekurangan itu diperparah oleh distribusi yang tidak merata dan kebocoran infrastruklur yang mencapai sekitar 40 persen. Lebih dari dua pertiga air kota itu disedot dari Sungai Yamuna dan Gangga yang mendapat airnya dari es Himalaya. Jika es itu menghilang. hampir dapat dipastikan masa depan akan lebih buruk. “Kami menghadapi situasi tidak berkelanjulan,” kata Diwan Singh, aktivis lingkungan Delhi. “Tak lama lagi dalam lima hingga 10 tahun – akan ada eksodus karena kekurangan air.”
Suasana sudah tegang. Dalam gang padat Nehru Camp di sekitar salah satu keran terakhir yang masih berfungsi, yang mcngucur selama satu jam sehari, seorang lelaki memukul perempuan yang menyerobol antrean, wajah si perempuan pun ungu lebam. “Setiap pagi kami bangun berebul air,” ujar Kamal Bhate, astrolog lokal yang melihat kegaduhan ilu. Keribulan reda menjadi teriakan dan saling tunjuk, tetapi perkelahian yang terjadi dapat berakibat fatal. Di perkampungan kumuh tak jauh dari sana, seorang remaja baru-baru ini dipukuli hingga mati karena menyelak antrean.
Dengan menyurutnya sungai, konflik ilu dapat menyebar. India, China, dan Pakistan menghadapi tekanan untuk menggenjot produksi pangan agar dapat mencukupi kebuluhan penduduknya yang banyak dan terus bertambah. Namun, perubahan iklim dan berkurangnya pasokan air dapat mengurangi hasil panen serealia di Asia Selatan sebesar 5 persen dalam tiga dasawarsa. “Kita akan menyaksikan meningkatnya ketegangan karena pembagian sumber daya air, termasuk perselisihan politik antara petani, desa dan kota, dan antara manusia dan kebutuhan air lingkungan,” kata Peter Gleick, pakar air dan presiden Pacific Institute di Oakland, California. “Dan menurut saya akan semakin banyak ketegangan yang mengarah pada kekerasan.”
Tantangan terbesar adalah mencegah terjadi konflik air antar negara. Saat ini sudah muncul rasa waswas di Asia tengah mengenai kemungkinan negara-negara yang miskin tetapi kaya gletser (Tajikistan, Kyrgyzstan) suatu hari nanti membatasi aliran airnya ke tetangga yang kering tetapi kaya minyak (Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan). Di masa depan, perdamaian antara Pakistan dan India mungkin bergantung pada air di samping senjata nuklir karena kedua negara itu harus berbagi Sungai Indus yang bergantung pada gletser.
Pertanyaan terbesar tertuju ke China yang menguasai sumber sungai-sungai besar di kawasan itu. Pembangunan bendungan di Sungai Mekong telah membuat Indocina yang ada di hilir marah. Jika Beijing melanjutkan rencana tentatifnya untuk mengalihkan Brahmaputra, itu bisa memprovokasi rivalnya India untuk bersengketa di daerah tempat kedua negara itu berperang pada 1962.
Bagi warga di Nehru Camp, kekhawatiran geopolitik tenggelam dalam hiruk-pikuk perebutan air. Pada sore hari, keran di luar perkampungan kumuh itu tiba-tiba mengucur dan Chaya, dengan senyum penuh kemenangan, menjunjung pulang kendi 40 liter penuh. Airnya kotor dan pahit, juga tidak ada alat untuk menjerangnya. Namun akhirnya, dia dapat memberi makanan pertama bagi anak-anaknya hari itu: sepotong roti dan beberapa sendok sup miju. “Mereka seharusnya belajar, tetapi kami terpaksa menyuruh mereka mencari air,” kata Chaya. “Kami tidak punya pilihan, karena siapa yang tahu apakah kami bisa mendapat cukup air besok.”
Fatalisme mungkin merupakan responsalami terhadap kekuatan yang tampaknya ada di luar kendali kita. Namun Jia Son, petani Tibet yang menyaksikan penyusutan gletser Mingyong yakin bahwa setiap tindakan adalah berarti – baik maupun buruk, besar maupun kecil. Saat berhenti sejenak di gunung, dia membuat pengakuan, Pencairan es ini, katauya. mungkin kesalahannya juga.
Saat Jia Son pertama kali menyadari peningkatan suhu – tetesan keringat yang tak biasa di punggungnya sekitar satu dasawarsa lalu – dia berpikir itu adalah karunia dari para dewa: musim dingin tak sebrutal biasanya. Gletser mulai mencairkan airnya lebih awal di musim panas dan untuk pertama kalinya sepanjang ingatan Jia Son, penduduk desa dapat panen dua kali dalam setahun,
Kemudian datanglah turis China, banjir penduduk kota yang bersedia membayar penduduk lokal untuk mernandu mereka melihat gletser. Turis suku Han tidak selalu menghormati tradisi Buddha; saat herteriak riang untuk memicu salju longsor, mereka tampaknya tidak menyadari bencana yang menimpa gletser itu, Namun, turis telah mengubah desa miskin itu menjadi salah satu yang terkaya di daerah itu. “Hidup jauh lebih mudah sekarang,” kata Jia Son yang rumahnya lampak bersahaja seperti semua rumah di desa itu, tetapi dilengkapi lelevisi dan parabola subsidi pemerintah. “Mungkin keserakahan kami membuat murka Kawagebo.”
Yang dia maksud adalah dewa temperamental di alas desanya. Sebagai salah satu gunung yang paling suci bagi agama Buddha Tibet, Kawagebo belum pemah ditaklukkan dan penduduk lokal percaya puncaknya – dan gletsernya – harus letap tak tersentuh. Ketika ekspedisi China-Jepang mencoba mendaki puncak itu pada 1991, salju longsor di dekat puncak gletser menewaskan keseluruh 17 pendaki. Jia Son tetap yakin bahwa kematian mereka bukanlah kecelakaan tetapi balasan dewa. Mungkinkah penyusutan Mingyong juga merupakan tanda kemurkaan Kawagebo?
Jia Son tidak mau ambil risiko. Setiap tahun dia melakukan ziarah 15 hari di sekitar Kawagebo untuk menunjukkan ketaatannya pada Buddha, Dia tidak lagi berburu atau menebang pohon. Sebagai bagian dari program pemerintah, ia juga menyerahkan sepetak tanah untuk dihutankan kembali. Keluarganya masih ikut dalam koperasi pariwisata desa itu, tetapi Jia Son memastikan pengunjung mengetahui pentingnya gletser itu secara spiritual. “Semua tak akan membaik, kecuali kami membuang cara berpikir yang materialistis.”
Source:
National Geographic Indonesia (Edisi Khusus Air), April 2010
http://dwikusumadpu.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages