Penanggulangan Banjir dan Sistem Penyimpanan Air
Zaman dahulu banyak orang menerapkan prinsip “Drainase Konvensional”, yaitu system saluran air yang direncanakan untuk membuang dan mengalirkan kelebihan air langsung ke sungai dan saluran- saluran air. Akibatnya, banyak sungai yang meluap karena debit yang mengalir melebihi batas dan mengakibakan banjir dimana- mana.
Akhirnya konsep ini pun mulai ditinggalkan, dan sekarang ini telah banyak yang menerapkan prinsip “Drainase berwawasan Lingkungan”, yaitu usaha untuk tidak hanya mengalirkan air saja, tapi juga meresapkannya ke dalam tanam (water harvesting) sehingga kekeringan pun dapat diminimalisir karena muka air tanah akan bertambah.
1. Membuat lubang biopori :
Ditemukan : Ir. Kamir R. Brata, MSc. Dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB. Ini merupakan rekayasa teknologi sederhana untuk meresapkan air. Kelebihannya : sederhana, murah dan mudah, efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Dan sampai saat ini di Bogor telah ada lebih dari 22000 lubang biopori sebagai solusi untuk mengatasi banjir. Dan uniknya3000 mahasiswa ITB berpatispasidalampembuatan biopori tersebut.
2. Sumur resapan :
Merupakan salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke dalam tanah.
Sumur resapan dinilai 4x lebih efektif dalam meresapkan air hujan daripada pohon. Karena pohon akan menguapkan kurang lebih 80% air yang diserap, sedangkan sumur resapan justru dapat meresapkan air kurang lebih 80% . Desain sumur resapan ini dapat menggunakan buis beton, dengan kedalaman 3- 4m dengan diameter 1m. Dilengkapi dengan ijuk dan pasangan batu kali pada setiap ruas sambungan buis beton sebagai filter air yang meresap.
3. Mengganti Paving Block dengan Grass Block :
Jalan yang telah tertutup dengan paving block akan membuat air tidak dapat meresap langsung ke tanah, akibatnya air akan menggenang, dan memicu terjadinya banjir. Oleh sebab itu, penggantian paving dengan grass block dapat membantu meresapkan air hujan ke tanah lebih cepat, karena permukaannya yang berlubang. Sehingga genangan air dapat diminimalkan, air dapat diresapkan dan disimpan ke dalam tanah, serta dapat mencegah potensi terjadinya banjir.
4. Modifikasi Lansekap :
Modifikasi lansekap untuk memanen air hujan sedang banyak dikerjakan di beberapa negara maju, seperti di Kanada, Jerman dan Jepang. Salah satu caranya adalah mengganti jaringan drainase suatu kawasan dengan cekungan- cekungan di berbagai tempat (modifikasi lansekap), sehingga air hujan akan tertampung di lokasi cekungan tersebut. Cara modifikasi lansekap ini ternyata dapat menekan biaya konstruksi jaringan drainase suatu kawasan lebih dari 50 persen.
Di Indonesia, metode ini secara tradisional sebenarnya sudah berkembang. Masyarakat “memodifikasi lansekap” mereka dengan membuat parit- parit kecil, cekungan-cekungan dangkal di pekarangan, sengkedan/ terasering, dll
5. Retarding Basin (Kolam retensi) :
Implementasi metode retarding basin adalah penyelesaian banjir di wilayah hilir Sungai Rhine di Eropa. Untuk mengurangi banjir yang menerjang kota- kota di wilayah Jerman dan Belanda bagian hilir, dimulailah (integriertes Rheisprogram) dengan membuat retarding basin- retarding basin di sepanjang Sungai Rhine di bagian tengah dan hulu, mulai dari kota Karslruhe (di perbatasan Perancis dan Jerman) sampai ke kota Bassel di perbatasan Jerman, Swiss, dan Austria.
Filosofi metode ini adalah mencegat air yang mengalir dari hulu dengan membuat kolam-kolam retensi (retarding basin) sebelum masuk ke hilir. Retarding basin dibuat di bagian tengah dan hulu kanan-kiri alur sungai-sungai yang masuk kawasan yang akan diselamatkan. Retarding basin harus didesain ramah lingkungan, artinya bangunannya cukup dibuat dengan mengeruk dan melebarkan bantaran sungai, memanfaatkan sungai mati atau sungai purba yang ada, memanfaatkan cekungan-cekungan, situ, dan rawa-rawa yang masih ada di sepanjang sungai, dan dengan pengerukan areal di tepi sungai untuk dijadikan kolam retarding basin.
Disarankan, dinding retarding basin tidak diperkuat pasangan batu atau beton karena selain harganya amat mahal, juga tidak ramah lingkungan dan kontraproduktif dengan ekohidraulik bantaran sungai. Desain retarding basin cukup diperkuat dengan aneka tanaman sehingga secara berkelanjutan akan meningkatkan kualitas ekologi dan konservasi air. Untuk penanganan banjir di Jakarta, retarding basin dapat dibuat di bagian tengah dan hulu dari 13 sungai yang mengalir ke jantung kota Jakarta, seperti Sungai Ciliwung, Cisadane, Mookervart, Pesanggrahan, Grogol, Krukut, Kali Baru Barat, Cipinang, Sunter, dan Cakung.
6. Revitalisasi Telaga, Danau, dan Situ :
Revitalisasi danau, telaga, atau situ kaitannya dengan memanen air hujan sebaiknya dilakukan dengan konsep ekologi-hidraulik, yaitu upaya memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik-hidrologi (sistem keairan) penyusun danau, telaga, atau situ yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau, situ dan telaga yang hidup dan lestari.
7. Daerah Konservasi Air Tanah (Groundwater Conservations Area) :
Pemerintah dan masyrakat dapat mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu yang khusus diperuntukan sebagai daerah pemanen (peresapan) air hujan yang dijaga diversifikasi vegetasinya dan konstruksi apa pun tidak boleh dibangun di atas areal tersebut
.
Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi dan bebas dari kontaminasi polutan. Konsep ini belum banyak dikenal di Indonesia, maka setiap daerah perlu segera mencari lokasi atau kawasan yang dapat dikembangkan menjadi cagar alam resapan air hujan ini.
8. Tanggul Pekarangan :
Masyarakat pedesaan di Indonesia sampai saat ini masih mempunyai metode menanggulangi erosi pekerangan dengan membuat “tanggul pekarangan rendah” setinggi 20 – 30 cm dari susunan batu kosong, batubata, genteng bekas, dan tanaman mengelilingi pekarangan mereka.
Metode tersebut telah banyak dilakukan di daerah Magelang dan Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, dan Sleman, Provinsi DI Yogyakarta. Konstruksi ini ternyata juga berfungsi sebagai pola memanen hujan karena limpahan air hujan akan tertahan dan meresap di areal pekarangan, dan tidak langsung mengalir ke sungi, sehingga dapat menjamin sumur di sekitarnya tidak kering.
9. Rorak :
Rorak adalah lubang lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah. Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Direkomendasikan dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara 1 - 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah lereng berkisar dari 10- 15 m pada lahan yang landai (3% – 8%) dan agak miring (8% – 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15% – 30%).
10. Mulsa :
Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban, struktur, kesuburan tanah, serta menghambat pertumbuhan gulma (rumput liar). Mulsa ini terdiri dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2-5 cm sehingga permukaan tanah tertutup sempurna.
sumber: perencanaanstruktur.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar